BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Memuji Allah Adalah salah satu tugas manusia
sebagai yang diciptakan, karena sudah sewajarnya seorang hamba selalu merasa
syukur atas kehadirannya di dunia ini, tidak lain dan tidak bukan pasti karena
Allah Ta’ala, meskipun ada atau tidak adanya pujian kepada Allah tidak akan
menurunkan derajat-Nya sebagai tuhan, karena memang Allah tidak butuh pujian
kita, tapi kita selalu butuh untuk memuji Allah, Allah hanya mempunyai hak,
sedangkan manusia selain punya hak juga mempunyai kewajiban, untuk itu
hakikatnya yang mempunyai kewajiban, harus melakukan kewajiban terlebih dahulu
baru menuntut hak nya. Dalam makalah ini akan dibahas praktek-praktek memuji
tuhan sesuai dengan tuntunan Ahlussunah waljama’ah.
Mengingat banyak nya kontroversi mengenai apa
hukum basmallah dalam sholat, penulis mencoba memaparkan dari sudut pandang
Imam 4 Madzhab, sehingga diharapkan kaum awam dapat mengambil kesimpulan
bagaimana hukum basmallah dalam sholat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Pujian Dalam Sholat?
2. Apa Hukum Melafadzkan Niat Sholat?
3. Bagaimana Hukum Basmallah Dalam Sholat?
C. Tujuan
Adapun Tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas presentasi dari mata
kuliah Aswaja, juga penulis memaparkan beberapa opini para ahli,juga bertujuan
agar kaum awam dapat mengambil kesimpulan sesuai dengan landasan-landasan yang
pikir imam Madzhab yang 4. Diharapkan makalah ini dapat mengembangkan kemampuan
pikir dan pemahaman baik itu dari penulis sendiri, maupun pembaca yang haus
akan ilmu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pujian Sebelum Sholat
Pujian itu sendiri berasal dari
bahasa jawa yang berarti sanjungan kepada Allah SWT. Yang kemudian djadikan
sebagai istilah khusus bagi kaum
nahdliyin yag biasanya dilakukan setelah adzan sebelum sholat berjama’ah
dilaksanakan. Jadi yang dimaksud dengan pujian adalah membaca dzikir atau
syair yang berupa sanjungan hamba kepada
Allah SWT dengan bersama-sama sebelum menunaikan sholat berjama’ah
dilaksanakan.berikut adalah kalimat-kalimat yang biasanya dilantunkan oleh kaum
nahdliyin ketika melakukan pujian
sebelum sholat:
1.
Melantunkan sifat-sifat Allah SWT, seperti Qidam, Baqo
dan seterusnya
2.
Membaca sholawat nabi dan do’an memohon keselamatan
3.
Ungkapan kalimat dalam bentuk ajaran/ pesan moral para
kekasih Allah (seperti Wali songo),
sebagai contoh: Tombo ati limo sawernane……[1]
B. Sejarah Pujian Sebelum Sholat
Tradisi membaca pujian sebelum
sholat bukan hanya di Indonesia , akan tetapi
tradisi umat Islam ini terjadi diberbagai belahan dunia manapun yang sudah ada sejak
dulu yaitu sebelum datangnya aliran wahabi. Penjelasannya adalah sebagai
berikut:
1. Pembacaan tasbih pada waktu sahur
Dalam kitab-kitab sejarah diterangkan baha pada masa Khalifah Muawiyah
bin Abi Sufyan ra., ada salah satu
sahabat Nabi Muhammmad SAW yaitu Maslamah binMakhlad ra (gubernur yang diangkat oleh Muawiyah) melakukan
I’tikaf pada maam hari di Masjid Jami’ Amr bin al-‘Ash di Mesir. Pada saat itu
ia medengar suara gong lonceng
gereja-gereja Koptik (gereja terbesar di Mesir) yang sangat keras. Kemudian ia
mengadukan hal tersebut kepada Syurahbil binAmir yaitu kepala
para muadzin di masjid tersebut. Setelah itu Maslamah memeritahkan para
muadzin megumandangkan pembacaan tasbih pada waktu pertengahan malam
(nishful-lail yaitu pada jam 12 keatas) ditempat-tempat adzan, sampai mejelang
waktu shubuh. Kemudia tradisis ini berlangsung diberbagai negeri Islam. Tanpa
ada seorang ulama yang mengganggapnya sebagai bid’ah tercelaatau haram.
2. Pembacaan akidah Ahlussunnah
Sebelum Sultan Shalahuddun al-Ayyubi
meguasai Mesir , selama dua ratus tahun lebih Mesir dan sekitarnya dikuasi oleh
dinasti fathima yang beraliran Syiah
Isma’iliyah. Dinasti Fathimi menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah melalui
kekuasaanya. Setelah Sultan Shalahuddin al Ayyubi menguasai Mesir dan Syam yang
meliputi Syria, Lebanon, dan Palestina yaitu setelah mengusir pasuan
salibis Kristen dari Baitul Maqdis di
Palestina, maka untuk memberantas ajaran
syiah Islamiyah Sultan Shalahudin memerintahkan para muadzin uu membacakan
kitab al-‘Aqidah al-Mursyidah. Yang isinya tentang akidah Ahlussunnah wal
jama’ah dengan madzab al Asy’ari. Dengan mmbaca kitab tersebut setiap malam
Sultan Shalahudin berhasil memberantas ajtran Syi’ah dan menyebarkan ajan
Ahlussunah Wal Jamaah. Tradisi ini kemudian diikuti oleh umat Islam di
Indonesia dengan membaca kitab nazham ‘Aqidah al-Awam karya Sayyid al Marzuqi
setiap menjelang waktu shoalt maktubah.[2]
3. Pembacaan Shalawat menjelang sholat maktubah
Pembacaan
sholawat Nabi SAW yaitu sebelum sholat
maktubah (sholat lima waktu) belangsung sejak masa pemerintahan Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi yang diintruksika sendiri oleh beliau. Hal ini beliau lakukan, karena sebelum itu, ketika Khalifah al-Hakim
bin al-‘Aziz, penguasa dinasti Fathimi di Mesir yang beraliran Syiah
Ismailiyah, terbunuh, saudarinya yang bernama Sittul Malik, memerintahkan para
muadzin agar mengucapkan salam kepada putra al-Hakim, yaitu Khalifah al-Zhahir
dengan mengucapkan as-Salam‘ala al-Imam al-Zhahir (salam sejahtera
kepada Imam al-Zhahir). Kemudian ucapan salam tersebut terus dilakukan kepada
para khalifah Fathimi sesudahnya dari generasi ke generasi, hingga akhirnya
Sultan Shalahuddin al-Ayyubi membatalkannya, dan menggantinya dengan membaca
shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Para ulama menganggap
kebijakan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tersebut sebagai kebijakan yang bagus
dan layak didoakan agar diberi balasan pahala oleh Allah subhanahu wata’ala.[3]
C. Hukum melakukan pujian sebelum sholat
Menurut
para ulama’ tradisi pujian sebelum
shalat adlah sebuah tradisi yang baik dan termasuk kedalam Bid’ah hasanah yang
mendtangkan pahla bagi para pelakunya. Berikut adlah hadist yang menjelaskan
tentang hal tersebut:
لِحَدِيْثِ اُقْعُدُوْا
فَإِذَا دَعَا الْقَوْمُ اَمَّنُوْا عَلىَ دُعَائِهِمْ فَإِذَا صَلَّوْا عَلىَ
النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّوْا مَعَهُمْ حَتَّى يَفْرَغُوْا
ثُمَّ يَقُوْلُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ طُوْبَىأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ أَنَّ للهِ
سَيَّارَةً مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِذَا مَرُّوْا بِحِلَقِ الذِّكْرِ قَالَ
بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ لِهَؤُل يَرْجِعُوْنَ مَغْفُوْرًا لَهُ
Yang Artinya:
“Karena hadits Abu Hurairah radhiayallahu ‘anh, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat yang
selalu berjalan. Apabila mereka menjumpai majlis dzikir, sebagian mereka
berkata: “Duduklah”. Apabila kaum itu berdoa, para malaikat itu membaca amin atas
doa mereka. Apabila mereka bershalawat, merekapun bershalawat bersama mereka
sampai selesai. Kemudian mereka berkata: “Beruntung kaum itu, pulang dengan
memperoleh ampunan Allah.” (Ibnu Qayyimil Jauziyyah, Jala’ al-Afham, hal. 237)[4]
D. Melafalkan niat sholat
Niat
adalah amalan hati dan hanya Allah SWT
yang mengetahuinya. Niat itu tempatnya
di dalam hati dan bukanlah di lisan. Hal ini berdsarkan ijma’ para
ulama’ yang dikutip oleh Ahmad bin Abdul Harim Abul Abbas Al Haron dalam Majmu’
Fatawanya. Bagi warga NU melafalkan niat adalah sudah menjadi kebiasaan
misalnya pada sholat dzuhur “Usholli fardha dhuhri arba’a raka’tin musraqbilal
qiblati ada’an lillahita’ala” yang artinya saya berniat melakukan sholat fardlu
dzuhrur empat rakaat dengan menghadap kiblat
dan tepat pada waktunya sema mata karena Allah SWT. Adapun hukum melafalkan
niat sholat pada ssat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan empa madzab yaitu:
1.
Menurut Imam Syafi’I dan pengikut Imam Ahmad bin Hambal
adlah sunnah,
Karena melafalkan niat sebelum
takir dapat membatu untu mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih
khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Jika seseorang salah dalam melafalka
niatnya, seperti contoh melafalkan niat shalat Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur
maka yang dianggap adlah niatnya buan lafal niatnya. Karena pa yang diucap oleh
mulut itu bukanlah niat, ia hanyalah memantu mengingatkan hati. Salah ucap
tidak mempengaruhi niat dalam hti sepanjang niat itu masih benar.
2.
Menurut Imam Malik bahwamelafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyariatkan
kecuali bagi orang-oarang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap
niatnya sendiri).
3.
Menurut Imam Hanafi bahwa melafalkan niat
shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan
niat bagi orang yang terkena penyakit was-was
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah
wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan ibadah
haji.seperti yang dikutip oleh hadist
dibawah ini:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ الله ُعَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله
ُعَلَيْهِ وَسَلّّمَ يَقُوْلُ لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw
mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan
niat itu dalam menjalankan ibadah haji, bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa,
tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau dianalogikan sama
sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat. Niat itu sendiri
tempatnya ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan
empat hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang
diniatkan dan tidak ada sesuatu yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga
(mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur tentang diwajibkannya
niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal Pertama, untuk
membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang
beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk
membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara
shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar. Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak
termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan Nabi Muhammad
dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah. Imam Ramli
mengatakan:
وَيُنْدَبُ النُّطْقُ بِالمَنْوِيْ قُبَيْلَ التَّكْبِيْرِ لِيُسَاعِدَ
اللِّسَانُ القَلْبَ وَلِأَنَّهُ أَبْعَدُ عَنِ الوِسْوَاسِ وَلِلْخُرُوْجِ مِنْ
خِلاَفِ مَنْ أَوْجَبَهُ
“Disunnahkan melafalkan
niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati,
agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat
yang mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).
Jadi, fungsi melafalkan
niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat
sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum
shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan
tidak berdosa.[5]
E. Basmallah Dalam Sholat
Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah setelah membaca doa
istiftah dan ta’awudz. Secara
umum, pembahasan mengenai masalah ini harus diawali dengan pembahasan apakah
basmalah itu bagian dari Al Fatihah? Bagi ulama yang berpendapat ia bagian dari
Al Fatihah, maka wajib membaca basmalah sebagaimana wajibnya membaca Al Fatihah
yang merupakan rukun shalat. Lalu bagi ulama yang berpendapat ia bukan bagian
dari Al Fatihah, mereka pun berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah.
1. Apakah Bagian Dari Al Fatihah?
Para ulama sepakat bahwa basmalah adalah
termasuk ayat Al Qur’an (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/83). Karena memang
basmalah terdapat dalam salah satu ayat Al Qur’an,
إِنَّهُ
مِنْ سُلَيْمَانَ وَإِنَّهُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
“Sesungguhnya
surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya: “Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang” (QS. An Naml: 30)
Namun,
terdapat perselisihan yang sangat kuat diantara para ulama mengenai apakah
basmalah itu bagian dari surat Al Fatihah. Karena jika ditinjau dari segi
riwayat qira’ah, dalam sebagian qira’ah yang shahih, basmalah bukan bagian dari
Al Fatihah dan dalam sebagian qira’ah yang lain, basmalah merupakan bagian dari
Al Fatihah.
Adapun Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyyah dan
jumhur fuqaha berpendapat bahwa basmalah bukan bagian dari Al Fatihah. Mereka
berdalil dengan hadits
قَالَ
اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي
مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ،
قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي
“Allah Tabaraka Wa Ta’ala berfirman, aku membagi shalat antara
Aku dan hambaku menjadi dua bagian, setengahnya untukKu dan setengahnya untuk
hambaKu sesuai dengan apa yang ia minta. Ketika hambaku berkata,’Alhamdulillahi
rabbil’aalamiin’. Allah Ta’ala berkata, ‘ Hambaku telah memujiKu’”
(HR. Muslim 395).
Adapun
Ulama Syafi’iyyah berpendapat basmalah adalah bagian dari Al Fatihah. Mereka
berdalil diantaranya dengan hadits, semisal hadits ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memberitahu para sahabat mengenai
surat yang paling agung dalam Al Qur’an, beliau bersabda:
هِيَ:
الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ السَّبْعُ المَثَانِي
“surat tersebut adalah ‘Alhamdulillahi
rabbil’aalamiin’ yang terdiri dari 7 ayat” (HR. Al Bukhari 4474 , 4647).
mereka menghitung lafadz “shiraathalladziina
an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa laadh
dhaaliin” sebagai 1 ayat, sehingga basmalah termasuk dalam 7 ayat
tersebut. Adapun para ulama yang mengatakan basmalah bukan bagian dari Al
Fatihah menghitung lafadz ini sebagai 2 ayat, yaitu: shiraathalladziina
an’amta ‘alaihim sebagai satu
ayat, dan ghairil maghdhuubi
‘alaihim wa laadh dhaaliin sebagai
satu ayat
Dalil lain bagi yang berpendapat basmalah
bagian dari Al Fatihah, yaitu hadits,
إِذَا قَرَأْتُمِ : الْحَمْدُ لِلَّهِ
فَاقْرَءُوا : بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّهَا أُمُّ الْقُرْآنِ ,
وَأُمُّ الْكِتَابِ , وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي , وَبِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ إِحْدَاهَا
“jika
kalian membaca Alhamdulillahi rabbil’aalamiin maka bacalah bismillahir rahmanir
rahim, karena ia adalah ummul qur’an, ummul kitab dan 7 rangkaian ayat, dan
bismillahir rahmanir rahim salah satunya” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubra 2181, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami’ 729).
hadits
ini secara sharih menyatakan bahwa basmalah merupakan bagian dari Al Fatihah,
dan inilah pendapat yang menurut kami lebih rajih. Adapun pendalilan dari
hadits Abu Hurairah yang pertama diambil dari mafhum hadits.
Namun
sebagaimana telah dijelaskan, bahwa bacaan basmalah tsabit pada sebagian qira’ah, maka tentunya
perbedaan pendapat sangat longgar perkaranya (lihat Sifatu Shalatin Nabi, 79-80).
2. Apakah Bagian Dari Setiap Surat?
Sebagaimana
Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyyah dan jumhur fuqaha berpendapat bahwa basmalah
bukan bagian dari Al Fatihah, mereka juga berpendapat basmalah bukanlah bagian
dari setiap surat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/83). Namun basmalah memang Allah
turunkan untuk pemisah antara surat yang satu dengan yang lain. Diantara alasan
bahwa basmalah bukanlah bagian dari setiap surat, para ulama ijma’ bahwa surat
Al Kautsar itu terdiri dari 3 ayat, dengan demikian basmalah bukan bagian dari
surat Al Kautsar.
Adapun
Syafi’iyyah berpendapat basmalah adalah bagian dari Al Fatihah dan juga dari
setiap surat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/84). Diantara alasannya adalah bahwa
para sahabat Nabi mengumpulkan Al Qur’an dan menulis basmalah di setiap awal
surat, padahal yang bukan berasal dari Al Qur’an tidak boleh ditulis dalam Al
Qur’an. Dan para ulama sepakat bahwa basmalah yang berada di antara dua surat
itu adalah kalamullah, sehingga wajib dianggap sebagai bagian dari surat Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/85).
3. Hukum Membaca Basmalah
Dari penjelasan sebelumnya, kita ketahui bahwa
Syafi’iyah berpendapat wajibnya membaca basmalah karena ia merupakan bagian
dari Al Fatihah. Dan mengingat membaca Al Fatihah adalah rukun shalat, maka
shalat tidak sah jika tidak membaca basmalah karena adanya kekurangan dalam
membaca Al Fatihah. Sebagaimana hadits
لاَ
صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca
Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
Diantara
para salaf yang berpendapat demikian adalah Al Kisa-i, ‘Ashim bin An Nujud,
Abdullah bin Katsir, dan yang lainnya (Sifatu Shalatin Nabi, 79). Syafi’iyyah
juga berpendapat wajibnya membaca Al Fatihah sebelum qira’ah setiap awal surat dari Al Qur’an dalam
shalat (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/88).
Sementara
Hanafiyah yang berpendapat basmalah bukan bagian dari Al Fatihah, mereka
mengatakan bahwa membaca basmalah dalam shalat hukumnya sunnah sebelum membaca
Al Fatihah di setiap rakaat. Disunnahkannya membaca basmalah sebelum Al Fatihah
karena dalam rangka tabarruk dengan basmalah. Adapun selain Al
Fatihah tidak disunnahkan.
Namun Malikiyyah berpendapat tidak disunnahkan
untuk membaca basmalah sebelum qira’ah setelah Al Fatihah, sedangkan menurut
Hanabilah sunnah hukumnya baik sebelum Al Fatihah maupun sebelum qira’ah. Dan
Malikiyyah membolehkan tasmiyah sebelum Al Fatihah ataupun sebelum
qira’ah (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/87-88).
Pendapat yang masyhur dari Malikiyyah, yang
juga berpendapat basmalah bukan bagian dari Al Fatihah, mereka mengatakan bahwa
membaca basmalah sebelum Al Fatihah ataupun qira’ah hukumnya makruh. Mereka
berdalil dengan hadits Anas bin Malik
مِعْتُ
قتادةَ يُحَدِّثُ عن أنسٍ قال : صلَّيْتُ مع رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،
وأبي بكرٍ ، وعمرَ ، وعثمانَ ، فلم أَسْمَعْ أحدًا منهم يقرأُ بسمِ اللهِ الرحمنِ
الرحيمِ
“aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, Abu
Bakar, Umar dan Utsman dan aku tidak mendengar mereka membaca bismillahir rahmanir rahim” (HR.
Muslim 399).
namun ada riwayat dari Imam Malik bahwa beliau
berpendapat boleh, dan riwayat lain dari Malikiyyah yang mengatakan hukumnya
wajib (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 8/87).
Kesimpulannya, khilaf dalam masalah ini berporos pada
masalah apakah basmalah itu termasuk Al Fatihah ataukah tidak dan apakah ia
termasuk bagian dari setiap surat atau tidak. Maka dalam hal membaca basmalah
atau tidak membaca basmalah perkaranya longgar.[6]
BAB III
Kesimpulan
Pujian itu sendiri berasal dari bahasa jawa
yang berarti sanjungan kepada Allah SWT. Yang kemudian djadikan sebagai istilah
khusus bagi kaum nahdliyin yag biasanya
dilakukan setelah adzan sebelum sholat berjama’ah dilaksanakan. Jadi yang
dimaksud dengan pujian adalah membaca dzikir atau syair yang berupa sanjungan hamba kepada Allah SWT
dengan bersama-sama sebelum menunaikan sholat berjama’ah dilaksanakan. Menurut
para ulama’ tradisi pujian sebelum
shalat adlah sebuah tradisi yang baik dan termasuk kedalam Bid’ah hasanah yang
mendtangkan pahla bagi para pelakunya. Niat adalah amalan hati dan hanya
Allah SWT yang mengetahuinya. Niat itu
tempatnya di dalam hati dan bukanlah di
lisan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum
membaca basmalah setelah membaca doa istiftah dan ta’awudz. Secara umum, pembahasan
mengenai masalah ini harus diawali dengan pembahasan apakah basmalah itu bagian
dari Al Fatihah? Bagi ulama yang berpendapat ia bagian dari Al Fatihah, maka
wajib membaca basmalah sebagaimana wajibnya membaca Al Fatihah yang merupakan
rukun shalat. Lalu bagi ulama yang berpendapat ia bukan bagian dari Al Fatihah,
mereka pun berbeda pendapat mengenai hukum membaca basmalah.
Ulama dari Madzhab 4 yang berpendapat bahwa
Basmallah bagian dari Al-Fatiha yaitu Syafi’iah, sedangkan ulama yang
mengatakan bahwa Basmallah bukan bagian dari Al-Fatiha yaitu, Hanafiya,
Hanabilah, dan Malikiyah.
Daftar Pustaka
Al-Barzah. (2017, 04 19). Albarzah. Retrieved
from Ahlusunnah: http://albarzah.blogspot.co.id/pujian-sebelum-sholat
berjemaah.hmtl
Media, M. (2017, April 23). Berita Islam. Retrieved
from Muslim Media News:
http://www.muslimmedianews.com/2013/08/hukum-melantunkan-puji-pujian-sebelum-sholat.html
Muslim. (2017, April 26). Hukum Islam. Retrieved
from Basmalah Dalam Sholat:
https://muslim.or.id/19744-hukum-basmalah-dalam-shalat.html
Wordpress. (2017, Maret 08). Tiket Akhirat.
Retrieved from Ahlusunnah:
HTTPS://TIKETAKHIRAT.WORDPRESS.COM/2013/08/24/MELAFALKAN-NIAT-SHALAT-MENURUT-EMPAT-MAZHAB/
[4]
Ibid
[5]https://tiketakhirat.wordpress.com/2013/08/24/melafalkan-niat-shalat-menurut-empat-mazhab/
Untuk Mendownload Makalah Silahkan Download pada Link Berikut :
loading...



0 comments:
Post a Comment